MEMOonline.co.id - Jakarta - Saling lempar canda mengemuka di sela-sela rembuk masalah politik dan kesenjangan ekonomi yang masih menjadi masalah bangsa. Itu terjadi saat Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Silaturahmi ke Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradj yang berlangsung santai tapi berisi.
Haedar bersama pengurus inti PP Muhammadiyah bertamu ke kantor PB NU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, kemarin Jum'at (23/2/2018). Bukan kunjungan biasa karena pertemuan tersebut baru kali pertama terjadi diperiode Said Aqil Siradj.
Pertemuan menjelang sore itu diawali makan siang dengan menu masakan warung Tegal (warteg) di ruang kerja Said di lantai 3.
Selanjutnya, pertemuan berlangsung tertutup sekitar 30 menit.
Setelah pertemuan itu, mereka naik ke lantai 5 untuk memberikan pernyataan bersama. Saling lempar canda pun terdengar di antara dua ketua umum organisasi Islam terbesar itu.
" Ahlan wasahlan saudara tua kita. Lebih senior dari NU, Lahirnya (Muhammadiyah) 12 (1912). Jadi kakak sulung," ujar Said mengawali.
Dia pun memuji sosok Haedar sebagai seorang yang santun karena latar belakang lahir di Bandung dan tinggal lama di Jogjakarta. Sedangkan Said menyebutkan bahwa dirinya cenderung lebih keras. Tapi, mereka bisa akrab dalam bicara. "Langsung tune in," kata Said disambut senyum Haedar.
Tentu saja Haedar membalas canda itu saat diberi kesempatan untuk berbicara. Dia menuturkan, kunjungan tersebut memang ibarat saudara tua yang datang ke adik bungsu. "Adik bungsu nakal-nakal dikit biasa. Kalau tidak nakal, bukan adik bungsu.
Jadi, kami silaturahim. Kita tak pernah berpisah karena memang tak pernah bersatu," kata Haedar diiringi riuh tawa hadirin.
Setelah mengulas sejarah persaudaraan dan keakraban antara NU dan Muhammadiyah yang berlangsung lama, mereka pun menyampaikan sikap masing-masing terhadap kondisi terkini. Suasana mulai terasa lebih formal. Said mengulas soal keberagaman di Indonesia yang harus terus dijaga. Di banyak kesempatan ceramah hingga luar negeri, dia menceritakan Islam Nusantara yang moderat.
"NU dan Muhammadiyah berkomitmen ingin bangun ketenangan. Buktikan Indonesia ini umat yang mutamaddin, yang berperadaban dan berbudaya," ujar Said.
Said berharap di tahun politik ini tidak sampai timbul perpecahan sesama warga.
"Hanya karena lima menit (di dalam bilik suara, Red), masak kita akan hancurkan persaudaraan yang sudah 70 tahun ini. Kembali ke zaman jahiliah nanti," tegas Said.
Haedar pun berharap dinamika politik antar sesama elite itu dianggap sebagai hal yang lumrah dalam demokrasi. Asalkan tidak sampai main otot atau menjurus ke kekerasan. Tapi, tetap dengan pikiran yang terbuka pada perbedaan.
"Silahkan kritik dibalas kritik, biarkan bangsa ini dewasa. Tugas Muhammadiyah dan NU membingkai tetap ada moralitas dan akhlak demi kepentingan bersama," ujar Haedar.
Soal kesenjangan sosial, Haedar menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang dibuat semestinya bisa pro keadilan sosial. Muhammadiyah dan NU berharap keadilan sosial itu juga menjadi komitmen bagi semua elemen bangsa, termasuk para calon kepala daerah.
"Harus meletakkan agenda keadilan sosial sebagai visi utama kontestasi politik nasional," ujar Haedar.
Said menyatakan bahwa saat berlangsung munas NU di Lombok, 23-25 November 2017, dirinya berpesan kepada Presiden Jokowi agar permasalahan kesenjangan sosial itu diselesaikan. Salah satu caranya adalah redistribusi aset. Dia menyebut pada zaman Nabi Muhammad SAW ada pemberian hak guna usaha untuk sahabat Bilal. Saat Khalifah Umar menjabat, hak tersebut dicabut karena Bilal sudah sejahtera. "Artinya, pemerintah segera saja melakukan pembatasan pengusaha-pengusaha yang menguasai jutaan hektare, ada batas periode dan ada batas luasnya lahan itu. Jangan dibiarkan," tegas Said.
Selain itu, mereka membacakan secara bergantian pernyataan bersama yang berisi lima hal.
Pertama, Indonesia berdasar Pancasila final.
Kedua, Komitmen terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, Menyeru pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan.
Keempat, Menghimbau agar warga NU dan Muhammadiyah untuk saling menjaga iklim kondusif di era media sosial.
Kelima, dalam menghadapi tahun politik diharapkan jangan menjadikan perbedaan pilihan sebagai sumber perpecahan.
Sebelum pulang, Haedar sempat diajak mampir ke ruang kendali NU di lantai 5. Di ruang tersebut dipantau semua isu-isu kebangsaan. Mulai terorisme hingga masalah ekonomi dan sosial. (Bam/ Diens).