MEMOonline.co.id, Sumenep- Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Sumenep menggugat menggelar aksi demontrasi ke kantor DPRD setempat, Senin (26/08/2024).
Hal itu dilakukan, mengingat Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat.
Bahkan mereka menilai, tiga pilar demokrasi berada dalam keadaan rawan, reot, dan nyaris runtuh. Sistem yang dijalankan seolah-olah dikendalikan oleh satu golongan atau individu.
Contoh terbaru adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap Undang-Undang Pilkada.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD.
MK juga memutuskan bahwa usia calon gubernur dan wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun saat penetapan calon.
Setelah putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) secara mendadak mengadakan rapat untuk merevisi UU Pilkada, hanya sehari setelah keputusan MK dibacakan.
Badan Legislasi (Baleg) melakukan manuver dengan mengabaikan putusan MK dan merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki perbedaan substantif dengan MK.
Meskipun akhirnya DPR-RI menerima putusan MK, hal ini baru terjadi setelah adanya gelombang penolakan keras dari rakyat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa DPR-RI tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Padahal, seharusnya mereka menerima keputusan MK tanpa syarat, sesuai dengan pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Tidak menaati putusan MK adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," kata Moh. Faig, Korlap Aksi Sumenep Menggugat.
Menurutnya, pengkhianatan terhadap rakyat ini bukan kali pertama terjadi.
"Rakyat berulang kali dijadikan korban atas kekuasaan. Janji-janji politik diabaikan, kesejahteraan rakyat tidak diwujudkan, dan keadilan tidak diberikan. Oleh karena itu, kami menilai keberadaan DPR sudah tidak berguna dan harus dibubarkan," paparnya.
Lebih buruk lagi kata dia, ketika rakyat melawan, aparat kepolisian justru menggunakan kekerasan.
Berdasarkan informasi dari akun Instagram @narasinewsroom, tindakan aparat saat mengamankan aksi Peringatan Darurat di Semarang sangat tidak pantas.
"Aparat menembakkan gas air mata hingga 11 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Demonstran diseret, bahkan ibu-ibu didorong saat aksi di gedung DPR. Seorang mahasiswa di Bandung bahkan kehilangan bola matanya, diduga terkena lemparan batu dari polisi saat demonstrasi," imbuhnya.
Atas dasar kejadian ini, kami dari Sumenep Menggugat menyatakan sikap:
1. Bubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
2. Tuntut para elite politik dan pimpinan partai untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok.
3. Desak anggota DPRD Sumenep untuk menuntaskan janji-janji politik dan menjamin kesejahteraan serta keadilan bagi masyarakat pinggiran.
4. Minta aparat keamanan menghentikan tindakan kekerasan.
5. Tuntut Polres Sumenep agar menjadi pelindung rakyat dan menjamin keselamatan saat aksi.
Penulis : Alvian
Editor : Udiens
Publisher : Syafika Auliyak