11 Desember, Lapangan Sepakat Sumenep

Foto: Maliatuz Zahroh, Tim Redaksi MEMO online
3618
ad

                                                        Oleh: Maliatuz Zahroh

MEMOonline.co.id  - Beginilah seharusnya. Berdesak-desakan dengan orang-orang-entah peserta atau hanya menonton- dengan aroma yang bermacam-macam. Aroma keringat, aroma parfum istriku, aroma kotoran sapi dan aroma-aroma lain yang menyesakkan hidung. Rimba sudah siap dengan saudara angkatnya Koko. Ah iya, aku lupa memperkenalkan sapi ku yang satu ini. Namanya Koko, dan tentu saja lebih kuat Rimba.

Karapan sapi sekarang sudah tidak lagi sebagai bentuk dari pelestarian budaya. Tapi semata karena prestise (kenaikan status) atau ajang penuh gengsi antara kaum lelaki. Selain bertani, orang Madura memang peternak sapi dan kambing yang handal. Tak heran jika budaya karapan sapi sangat diminati oleh masyarakat Madura. Sayangnya, karapan sapi saat ini sudah dianggap adapraktik kekerasan yang mengandung unsur rekeng (penyiksaan) yang menjadi dampak negatif dari karapan sapi.

Wanita itu, aku melihatnya. Dia berdiri di posisi paling belakang. Tangannya masih setia menggenggam tangan kedua putranya.

“Sul, pegangin dulu sapiku. Aku ada urusan sebentar.”

Dintara lalu lalang orang-orang aku bergegas menghampirinya.

“Masih bertiga?”

Wajahnya seketika berubah muram. Ah, aku benar-benar tidak ada maksud menyinggung perasaannya. Aku hanya ingin memastikan dia tidak sedang bersama suaminya yang bisa saja marah padaku.

“Maksudku, suamimu tak ikut menyaksikan karapan sapi ini?” Ralatku.

“Mungkin dua hari lagi dia akan pulang.”

“Bagaimana rasanya menunggu?”

“Sangat berarti jika untuk ayah dari anak-anakku.”

Lag-lagi senyumnya membuat aku lupa kalau aku sudah beristri pula.

“Ah iya, siapa namamu?”

“Lastri.” Jawabnya tanpa mengulurkan tangan.

“Sukri. Sukri Sunandar,” ucapku memperkenalkan diri.

Aku baru saja hendak melanjutkan obrolan -tidak penting- dengannya jika saja Martini tidak datang untuk menyeretku.

“Oh jadi di sini rupanya, sedang godain wanita jablay toh,” cerocosnya tanpa sedikitpun merasa tidak enak hati sama wanita di hadapanku. Aku hanya berdecak kesal dan buru-buru pergi sebelum semuanya tambah runyam.

###

Lastri’s POV

Aku sedang memasak singkong rebus dan menggoreng ikan hasil tangkapan suamiku yang sudah kembali sejak tadi sore, tak lupa kubuatkan secangkir kopi panas dan pisang goreng kesukaannya. Anak-anak luar biasa senang karena Bapaknya datang membawa berkarung-karung ikan yang masih segar. Sebagian untuk dijual, sebagian lagi untuk dimakan bersama setiap hari. Sedang aku, aku bahkan lebih senang melihat Ia kembali dengan selamat. Walau sedikit telat pada janji yang Ia buat. Selalu.

Seperti biasa, setiap sebelum tidur, suamiku akan mengajak anak-anak kami mengobrol di teras rumah. Kadang suamiku akan menceritakan dongeng si kancil atau sekadar tebak-tebakan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. Sampai akhirnya mereka akan mengantuk lalu bergegas ke kamar untuk segera tidur.

“Lastri! Lek.”

“Iya, Kak?”

“Anak-anak tadi bercerita kalau kau pernah mengobrol dengan Sukri si juragan sapi itu?” Tanyanya dengan nada gelisah. Ah, bukan anak-anak bercerita, tapi pasti diintrogasi lebih dulu oleh Bapaknya.

“Ya Cuma mengobrol sebentar, Kak. Lagian dia yang nyapa duluan.”

“Memang aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia yang banyak sapinya,” nadanya mulai memelas. Aku selalu tidak suka bagian ini. Dia terlalu berkecil hati.

“Ah jangan begitulah, Kak. Siapa juga yang gila harta. Lagian sapi dia Cuma dua kok dibilang banyak.”

“Sapi-sapi Sukri banyak, tapi ekala’ paron  tetangga-tetangganya.”

“Lah kok tahu banyak tentang si Sukri?” Tanyaku heran. Suamiku hanya bergumam dan mengangkat bahu. Mungkin sudah kesal. Ah, ada-ada saja. Kudekati dan kupijat punggungnya, berharap dengan perlakuanku yang begini dia urung merasa kesal dan marah.

“Sampean kalau majhang  jangan lama-lama.”

“Aku cari nafkah, Lek. Buat kamu, buat anak-anak kita. Nasib mujur harus diusahakan, bukan ditunggu. Kaya miskin itu pilihan.”

Diseruputnya kopi yang kubawakan tadi.

“Imam Syafi’i berkata, Fagrul juhala idhtirar wa fagrul ulama fagru ikhtiyar . Orang-orang bodoh miskin karena nasib mereka sendiri, sementara para ulama’ miskin karena pilihan mereka untuk hidup penuh kesederhanaan,” tambahnya antusias. Aku hanya mengangguk pura-pura paham. Jika sudah begini, berarti suamiku tidak ingin dibantah. Baiklah.

*

Pagi ini aku akan menjual hasil tangkapan ikan suamiku kemarin di pantai Lombang . Suamiku lumayan banyak pelanggan di sana. Namun karena dia bilang hari ini sangat payah, maka hanya aku  yang berangkat untuk menjual ikan, dia akan istirahat sampai sore, sedang anak-anakku masuk sekolah.

Pantai lombang masih dengan keindahan cemaranya yang rumbai. Sesekali tanganku nakal mengoperasikan kamera pada pasangan remaja yang asyik berpacaran diantara rimbun pohon cemara. Membuatku lagi-lagi bernostalgia pada pertemuanku dengan Hilman-suamiku- di pantai ini. Sekali lagi kuarahkan kamera hapeku ke arah pasangan remaja itu. Sadar ada yang memperhatikan, mereka pindah tempat dan menatapku kesal. Aku hanya mencibir.

Ah, laki-laki itu lagi. Bagaimana bisa aku selalu bertemu dengannya secara tidak sengaja seperti ini? Benar saja, dia berjalan ke arahku. Selalu dengan seulas senyum yang membuatku ngeri.

“Ikannya harganya berapa?” Tanyanya basa-basi. Aku tahu dia tidak benar-benar berniat untuk membelinya.

“Dua belas ribu yang kecil, yang besar dua puluh ribu.”

“Bungkusin yang kecil saja,” ucapnya seraya menyerahkan uang lima puluh ribuan ke tanganku.

“Las, Lastri,” panggilnya 

“Hm?”

“Aku suka kamu.”

“Ini ikannya. Dan ini sisa uangnya,” ucapku tanpa berniat merespon ucapannya yang mulai ngelantur.

“Sisanya diambil saja, Las,” tolaknya sopan.

“Gak usah, terimakasih,” jawabku sekenannya.

“Gimana, Las? kau tidak sedang berpura-pura tuli pada omonganku yang tadi kan?”

“Ck, cinta itu nomor dua, Suk, yang terpenting adalah keselamatan.”

Sukri hanya memaku mendengar ucapanku. Mungkin tidak paham. Mungkin pura-pura tidak mengerti. Atau mungkin sedang menata hati. Entahlah.

###

“Ke mana suamimu?”

“Hm?”

“Sukri ke mana?”

“Entahlah, tadi pagi pamit mau beli obat, tapi lama sekali.”

“Bukankah itu lebih baik?”

“Istrimu gak akan mencarimu ke sini, kan?”

“Dia sedang menjual ikan di pantai Lombang. Aku sudah bilang akan istirahat sampai sore. Jadi dia tidak mungkin berpikir macam-macam atau sampai mencariku ke sini. Tidak mungkin.”

“Oh, baguslah.”

“Sepertinya suamimu menyukai istriku.”

“Dan kamu menyukaiku, begitu maksudmu?”

“Ck, entahlah.”

“Sepertinya takdir sedang bermain-main dengan hidup kita.”

“Sepertinya.” (*)

*Maliatuz Zahroh, salah satu Tim Redaksi MEMO online sekaligus anggota Forum Lingkar Pena Cabang Sumenep.

 

ad
THIS IS AN OPTIONAL

Technology

MEMOonline.co.id, Sumenep- Calon Bupati nomor urut 02, Achmad Fauzi Wongsojudo, menggencarkan pengembangan wisata islami di Sumenep dengan pendekatan...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Kabupaten Sumenep, di ujung timur Pulau Madura, terus menjadi contoh harmonisasi keberagaman beragama di Indonesia. Bupati...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Pasangan Calon (Paslon) Nomor urut 2 Achmad Fauzi Wongsojudo - Kiai Imam Hasyim (FAHAM) Tanggapi Pertanyaan Paslon Nomor...

MEMOonline.co.id, Jember- Calon Bupati Jember nomor urut 2, Muhammad Fawait, mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas demi mewujudkan Pilkada...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Program layanan kesehatan gratis Universal Health Coverage (UHC) yang dipelopori Bupati Achmad Fauzi terus mendapat...

Komentar