MEMOonline.co.id, Jakarta - Pembina organisasi Pemuda Pelopor Nahdlatul Ulama (PPNU), KP. H. Budi Kasan Besari Adinagoro, S.H., M.H., CLA menyebut kasus kematian 6 simpatisan Front Pembela Islam (FPI) dalam baku tembak dengan tim Reserse Polda Metro Jaya sulit diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) untuk diadili.
“Begitupun tidak ada hubungannya dengan Presiden Joko Widodo,” ucap Budi Kasan Besari kepada wartawan di Jakarta, Minggu (20/12/2020) malam.
Sosok yang kerap dipanggil Gus Tunggak itu menjelaskan bahwa Indonesia bukan anggota Statuta Roma. Sehingga Ir. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia tidak bisa begitu saja diadili atau dibawa kasus-kasusnya ke pengadilan internasional.
"Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo tidak bisa diadili atau dibawa kasus-kasusnya, seperti kasus kematian 6 laskar FPI ke Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional atau sering kali disebut sebagai Statuta Roma," ungkapnya.
Karena, selain bukan anggota Statuta Roma, jenis perkaranya pun tidak mengena.
"Hanya empat jenis pelanggaran HAM yang ditangani ICC. Pertama kasus genosida, kedua kejahatan melawan kemanusiaan, ketiga kejahatan perang dan keempat kejahatan agresi," jelasnya.
ICC (international Criminal Court) statuta Roma itu, lanjutnya, memang diberlakukan dalam mahkamah pidana internasional. Tapi tidak terhadap kasus tewasnya laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
“Saya pikir argumen Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), Munarman dapat membawa kasus kematian 6 laskar FPI itu ke Den Haag hanyalah mimpi di siang bolong,” tegas Gus Tunggak.
Karena dalam kasus tersebut, tidak ada sangkaan yang masuk dalam empat kategori pelanggaran HAM yang ditangani ICC.
“Jadi dalam konteks yang terjadi kemarin (penembakan laskar FPI) tidak bisa dibawa ke peradilan internasional,” imbuh Gus Tunggak.
Bahwa selain tidak sebagai anggota statuta Roma, urai Gus Tunggak, Indonesia sampai hari ini tidak atau belum meratifikasi statuta tersebut.
“Hal ini tentunya dilakukan pemerintah, yang salah satu alasannya, yakni untuk menghindari terjadinya benturan antara norma domestik Indonesia dengan norma internasional dalam Statuta Roma," pungkasnya.
(Don/Bam/red)
Technology